Rabu, 26 September 2012

Elegi Energi Nusantara

Di tengah silang-sengkarut pengelolaan, bagaimana masa depan energi?

Oleh Joko Susilo
Foto oleh Yusuf Ahmad/Berau Coal
Bulan Maret 2012 mungkin menjadi bulan paling panas dalam sejarah karut-marutnya persoalan harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia. Hampir di seluruh pelosok negeri terjadi demonstrasi untuk menentang rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi se­besar Rp1.500 (dari Rp4.500 menjadi Rp6.000). Di beberapa daerah, termasuk yang terbesar, di depan gedung DPR Jakarta, aksi unjuk rasa bahkan berujung bentrok.

Tentu saja ada pihak yang mendukung ke­putusan pemerintah, namun jumlahnya teng­gelam oleh sorak dan riuhnya masyarakat yang menentang. Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk menunda kenaikan harga BBM, sesuai rekomendasi Rapat Paripurna DPR yang dramatis pada 31 Maret 2012.

Persoalan BBM—atau energi secara umum—di Indonesia memang pelik. Tidak ada masalah yang begitu menyita perhatian masyarakat seperti kenaikan harga BBM. Di sisi lain, masih banyak kalangan masyarakat yang belum menyadari bahwa bensin atau listrik yang mereka konsumsi, saat ini berasal dari sumber daya energi yang tidak terbarukan, alias jumlahnya terus menyusut seiring waktu.

Kebanyakan masyarakat perkotaan bahkan kerap tidak peduli jika bensin yang mereka gunakan disubsidi oleh pemerintah yang nilainya tiap tahun makin membengkak. Penggunaan BBM bersubsidi secara salah juga dilakukan dalam skala yang jauh lebih besar oleh sejumlah perusahaan tambang dan perkebunan di beberapa wilayah pedalaman.

Bayangkan ini: pada tahun depan, jumlah subsidi yang diajukan pemerintah melalui Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara sebesar Rp193,81 triliun atau naik sekitar 41 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan 2012 yang sebesar Rp137,38 triliun. Subsidi sebesar itu hampir separuh anggaran pendidikan (Rp286,56 triliun).

Untuk mengurangi subsidi, jalan yang dianggap paling tepat: menaikkan harga BBM subsidi. Namun, kebijakan itu merupakan masalah yang kental aroma politiknya.

Kemacetan lalu-lintas yang terjadi di kota-kota besar, terutama Jakarta, juga secara signifikan berkontribusi dalam pemborosan subsidi. Menurut Sutanto Suhodo, pengamat transportasi dari Universitas Indonesia,  kemacetan di Jakarta diperkirakan menyumbang pemborosan subsidi BBM sekitar Rp10 triliun per tahun.

Lantas, apakah produksi minyak nasional memang telah menipis?

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © Blog Pelajar Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger